Cerpen | Negeri harapan ( Cerpen 71)

4.bp.blogspot.com

"Teruskan saja murungmu itu jon" ucap Karwo membuka pembicaraan , tanganya meraih topi seragam yang ia pakai, mengayunkanya seperti kipas bambu.
Seperti biasa, kami hanya bertemu di sela-sela istirahat di warung kopi , sekitar pukul sembilan pagi. Karwo yang sudah duapuluh tahun bekerja sebagai juru parkir di pasar Turi, keningnya yang sudah mulai bergelombang besar, jenggot yang tak pernah tercukur, keringat merembes di wajahnya, semakin menambahnya terlihat tua. "Apa yang membuatmu hingga tak selera meminum kopi ha? Aku tau, pasti karena kabar kebijakan baru dari Mentri Pendidikan yang mewajibkan anak sekolah sampai sore kan? Sudah lah jon, si fahri kan masih kecil, jangan kau paksa bekerja membantu kau jualan koran setiap sore. Biarkan dia menikmati masa-masa pendidikannya di sekolah." Karwo menuangkan kopi panas di pranala, tangan kanan memegang cangkir, pranala di tangan kiri, sambil meniup-niup kopi yang masih panas, tangan kiri yang agak bergetar mengangkat pranala lalu di seduhnya pelan. Terlihat kumisnya yang bergoyang saat menyeduh, ku awasi raut muka yang masih terlihat bersemangat menjalani pekerjaanya sebagai juru parkir.
"Jadi, kabar apa yang hendak kau berikan padaku pagi ini  jon?" ucap karwo sembari mengambil sepotong gorengan di meja.
"Ini hari kemerdekaan bangsa kita mbah," 
"Kemerdekaan itu yang harus kau pahami bagaimana kita membangun negeri yang lebih beradab jon, guyub rukun, dan asri. Dan menurutku, pemerintahan sekarang sudah mulai bangkit dari keterpurukan, pemerintah sudah mulai menata infrastruktur, pendidikan, dan lain-lain. Kau lihat negara tetangga kita yang setiap hari masih berperang, mereka pasti tidak pernah merasakan tidur nyenyak, beruntungnya kau tinggal di Indonesia yang tak perlu berperang melawan penjajah seperti kakek-kakekmu dulu".
"Tapi mbah, kemaren ada kabar di koran, saudara kita yang di medan bentrok dengan TNI-AU, mereka brutal menghajar warga sipil, mengeroyok, memukuli hingga babak belur, ada yang kepalnya pecah, bahkan mereka malah merusak fasilitas peribadatan umat Islam, menghancurkan kotak infaq, mana jargon bersama rakyat TNI kuat mbah. Bukankah Ini potret negeri kita yang semakin amburadul, bagaimana kita bisa maju, aparatnya saja tidak becus mengurus dirinya sendiri, . Bayangkan mbah, hanya karena salah paham, Satpol PP tawuran dengan Polisi. Inikah kado kemerdekaan ke 71 tahun itu mbah? Belum lagi, ramainya pertengkaran orang-orang di atasan berebut kekuasaan. Mereka lebih suka membahas lawan politiknya dari pada musyawarah bareng dengan kita untuk mengentaskan kemiskinan, seharusnya oposisi kekeluargaan itu dengan rakyat kan mbah, bukan untuk berebut kekuasaan."
"Kalian anak muda memang slalu menyalahkan orang lain, kalau kalian ingin jadi pondasi bangsa, mulailahdari diri kalian sendiri. "
"Maksutnya mbah?"
Karwo bangkit dari tempat duduknya, menyerahkan selembaran uang lima ribu lusuh dari kantong baju depan yang dari tadi terlihat menonjol karena bercampur uang receh ke penjual. "Kopi dua sama si joni, gorengan satu".
"Koranmu masih banyak, cepatlah keliling lagi. Si fahri masih butuh uang jajan Jon", ucap Karwo. Semabari berjalan menuju parkiran, tanganya sibuk memasangkan topi di kepala. 


Comments

Post a Comment

Popular Posts